Seri Idul Adha (3): Hati-hati Dalam Membagi Daging Kurban


 Seringkali panitia penerimaan kurban mencampur semua daging kurban dan membaginya beberapa kilogram di dalam bungkus kresek, namun tidak melihat apakah status hewan kurban tersebut kurban nazar atau korban sunnah.

Kyai Fathul Qodir, M.HI, Komisi Fatwa MUI Jatim dan pengurus PCNU Surabaya mengingatkan, panitia penerimaan kurban mestinya mengetahui hewan kurban yang akan disembelihnya apakah ada hewan kurban nazar atau tidak sehingga bisa dipisahkan, sebab jika itu hewan kurban nazar, maka orang yang berkurban tidak boleh sama sekali menerima daging hasil kurbannya, termasuk bagian kulit maupun kepalanya, sebagaimana tertuang dalam kitab Mughni Al Muhtaj VI hal.135.
"Praktik seperti ini kadang terjadi oleh panitia kurban, entah karena ketidaktahuan atau asal terima sumbangan hewan kurban saja," ucapnya.
Sedangkan kurban sunnah bukan nazar, orang yang berkurban boleh menerima daging kurbannya dan membagikan sisanya pada siapapun yang dia kehendaki, karena mengkonsumsi hewan kurban sendiri termasuk mengharap berkah dari ibadah kurban. Namun yang lebih utama orang yang berkurban memberikan 2/3 hewan kurbannya kepada orang lain dan 1/3 untuk keluarganya.
Kyai Fathul Qodir juga mengingatkan, ibadah qurban juga berbeda dengan aqiqah, sebab yang harus dibagikan adalah bentuk daging mentahnya, bukan olahan daging maupun masakan dari hewan kurban.
Orang fakir, miskin bahkan orang kaya juga boleh menerima daging kurban, status daging kurban bagi orang fakir menjadi daging sedekah, sehingga ia boleh dengan bebas melakukan apa saja terhadap daging tersebut, termasuk menjualnya. Sedangkan bagi orang kaya, daging kurban yang diterima statusnya adalah daging hadiah, sehingga ia tidak memiliki secara penuh dan hanya bisa memanfaatkannya, seperti untuk dimakan atau diberikan kepada orang lain, tidak diperbolehkan menjualnya.
Lalu bagaimana hukumnya menjual kulit kurban atau kepalanya yang lazim di masyarakat?
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu Syarah al-Muhadzab mengatakan, tidak diperbolehkan menjual kulit atau bagian dari tubuh hewan kurban karena bisa menyebabkan tidak sahnya kurban.
لَا يَجُوْزُ بَيْعُ شَيْ مِنَ الْهَدْيِ وَالْأُضْحِيَّةِ نَذْرًا كَانَ أَوْ تَطَوُّعًا
"Tidak diperbolehkan menjual apapun dari hewan kurban baik itu hewan kurban wajib ataupun sunnah".
Sebagaimana juga dalam hadis Nabi:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ 
"Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya" HR. Hakim.
Bahkan Imam Nawawi beliau mengatakan tidak diperbolehkan menjadikan kulit sebagai bayaran bagi tukang jagal/penyembelih. 
وَلَا يَجُوزُ جَعْلُ الْجِلْدِ وَغَيْرِهِ أَجْرَةً لِلْجَزَّارِ

"Tidak diperbolehkan menjadikan kulit atau bagian tubuh hewan kurban tersebut sebagai upah bagi panitia maupun tukang jagal".
Dalam madzab Syafi'i, menjual kulit atau yang lainnya dari bagian hewan kurban, juga menjadikannya sebagai upah bagi tukang jagal/sembelih, atau bagi panitia yang membantu kegiatan kurban, tidak diperbolehkan, karena hal ini dapat menyebabkan ibadah kurban orang tersebut tidak sah. 
Lantas solusinya bagaimana agar ibadah korban tetap sah dan orang yang berkorban mendapatkan pahala Fadhilah dan keutamaan menyembelih hewan qurban tersebut?. 
solusinya adalah orang yang berkurban ketika menyerahkan hewan kurban atau menyerahkan uang kepada panitia kurban, berikrar mengatakan kepada panitia atau orang yang menjadi wakilnya untuk menyembelih hewan tersebut dengan mengatakan kulitnya nanti, kepalanya, tulangnya atau lainnya saya sedekahkan atau saya hadiahkan kepada panitia, kepada tukang sembelih, kepada orang yang membantu kegiatan penyembelihan.